Role Mode

November 04, 2018

Semua ini bermula dari satu obrolan ringan gue dan Ka Anna di bawah naungan tenda Pakde Bakso depan kampus; "Karena nggak ada yang bisa dijadiin panutan,"
Gue mau sharing tentang apa yang terjadi di lingkungan kerja gue. Kontennya, bukan perkara gue nggak bersyukur sama perkerjaan gue saat ini disaat banyak orang diluaran sana yang hilir-mudik mencari kerja. Bukan ingin mengeluh juga, hanya sekedar sharing. Oke?



I was old enough to saying this.
Pengalaman kerja 4 tahun ini gue rasa cukup untuk jadi bahan sharing tentang urusan kerjaan. Ya, walaupun dalam lingkup suatu pabrik keberadaan gue ini tidak terlalu signifikan, tapi semoga tulisan ini bisa dijadikan bahan untuk berfikir dan juga bersyukur.

Gue mau melakukan sebuah pengakuan yang sedikit menakjubkan: I am sick of my work life.


Kesannya hidup gue desperate banget gitu yak?
Enggak kok, nggak merujuk pada keinginan untuk commit suicide atau hal ekstrem lainnya. Hanya saja hayati lelah, hayati tak habis pikir dan hayati bingung.

Satu kemajuan paling signifikan yang terjadi setelah gue lulus high school selain pipi gue yang menggembung adalah; I am good at holding back. Sejak lahir gue emang mahir urusan ini tapi agaknya setelah kerja gue makin expert. Gue sudah sangat terlatih untuk nahan emosi entah itu sekedar nahan kesel atau nahan marah. Gue udah eneg sama yang namanya gondok, saking eneg nya sampe nggak ada lagi yang bisa dimuntahin.

Setelah kerja, gue di kasih lihat sama Allah gimana cara kerja "dunia" sesungguhnya. The world when we should facing the truth pelajaran penting yang nggak ada di mata pelajaran sekolah. Jaman sekolah dulu, kita diajarkan tentang mana yang benar dan mana yang salah. Kebenaran yang mutlak. Tapi, dunia yang sesungguhnya ternyata tidak seperti itu. Dunia yang sebenarnya adalah tempat mana hitam dan putih menjadi abu-abu. Dan sialnya, lo nggak punya pegangan. You've take fully responsibility of yourself. Dimana saat lo ngelakuin hal yang salah, nggak akan ada orang yang kasih tahu lo kalau itu salah dan nggak ada orang yang ngingetin lo untuk berhenti.

Papah selalu bilang ini;
"Kerja itu gampang, kerjaan itu gampang, yang susah itu berurusan sama orang di lingkungan kerja,"

Ini banget.
Itu kenapa gue sekarang paham kenapa orang-orang cenderung mencari sahabat diluar lingkungan kerjanya. Ya karena kita nggak akan pernah bisa punya deep-emotion-relation sama seseorang yang terikat hubungan kerja dengan kita. Lucunya, sebagian besar waktu dalam hidup kita justru dihabiskan di tempat kerja. More adult we are, more lonely we are.

Gue selalu menjadikan orang tua gue (Papah dan Mamah) sebagai panutan. Role mode. Dengan pandangan seperti itu, secara natural mindset gue selalu menganggap orang yang usianya lebih tua dari gue itu seharusnya bijaksana. Gue tumbuh di lingkungan dimana orang yang lebih tua akan mengayom yang lebih muda.

Setelah kerja gue berasa di tabok bokong panci.

Di tempat kerja gue,
Tidak ada orang yang layak dijadikan panutan.

Padahal, secara matematis, kebanyakan dari mereka lebih tua dari gue, bahkan ada yang seumuran mamah gue tapi entah kenapa cara berfikir mereka, SAMA SEKALI TIDAK BISA DIJADIKAN CONTOH. Tidak bijaksana, tidak berkepala dingin, tidak bisa mengambil keputusan, tidak bisa melindungi bawahannya. Bukan hanya untuk dijadikan panutan, untuk dijadikan sandaran aja nggak ada. Yang namanya hierarchy itu kayak nggak ada, berasa nggak punya senior, berasa nggak punya atasan karena kalau ada masalah, yang maju itu tetep gue, yang taking responsibility itu gue, yang disalahin itu gue, yang di maki-maki ya tetep gue.

Ketika lo sering berinteraksi dengan orang yang usianya jauuuuh lebih tua dari lo tapi sifatnya nggak lebih dewasa dari lo, lo akan apa?

Ketika secara senioritas lo jauh dibawah mereka tapi lo tahu yang senior lo lakuin itu bukan hal yang benar, lo bakal apa?

Walau gue tahu banget umur itu nggak menentukan tingkat kedewasaan seseorang tapi tetep, seseorang itu seharusnya punya wibawa. Telebih, saat mereka punya jabatan. I never think people can be so immature like this.

Karena nggak ada satupun atasan yang punya jiwa pemimpin itu, pada akhirnya, gue dan temen-temen gue yang nggak lebih keren dari remehan biskuit ini, manusia-manusia powerless, pada akhirnya hanya bisa dengan tulus ikhlas menerima limpahan kesalahan orang lain dan tentu aja holding back. Nahan sampe mati rasa, udah kayak peon di catur, kecil, maju duluan, matinya juga duluan. Ya salam..

Itulah kenapa jiwa kepemimpinan dalam diri seorang pemimpin itu perlu sekali ternyata. Biar nggak jadi pemimpin yang dzalim :') Maap maap aje ye, idup gue terlalu berharga untuk memikirkan kebencian. When the time goes by, everything will return to their normal place. Gue percaya banget sama prinsip gue yang itu. Toh setiap manusia memang sudah punya garis hidup dan rejekinya masing-masing.

Gue sudah lelah menjadi kritis.
Katanya lingkungan kerja membutuhkan pekerja yang aktif dan kreatif. Nyatanya, itu cuma wacana. Aturan sudah dibuat, trend sudah lama berjalan. Ketika gue mencoba untuk membenarkan hal-hal yang tidak wajar, mencoba untuk merubah habit yang tidak benar, maka saat itu pula gue harus siap menanggung segala resikonya, saat itulah gue harus siap disalahkan dan dipersidangkan. 
Karena itu pula, pegawai tidak akan bisa berkembang.

Karena itu gue memilih menjadi apatis.
Karena itu gue memutuskan bekerja sebagai robot penghasil data.
Karena gue bekerja dibawah pimpinan diktator.
Pemimpin yang takut kepada perubahan.

You Might Also Like

0 komentar

Comment