What I've been Looking for in a Story

September 16, 2018

Gue sedang dalam fase yang namanya 'need some amusement'. Gue pernah bilang bahagia gue itu sangat sederhana. Cukup nonton series/movie, denger instrumental atau baca buku. Sialnya belakangan ini sesuatu yang sebetulnya sederhana ini jadi nggak sederhana lagi. Susaaaaaaah banget untuk gue 'menyelamkan diri' ke dalam sebuah cerita, jangankan menyelam, terhanyut aja macem susah banget. Padahal deretan drama dan film yang kata orang-orang bagus dan buku-buku best seller udah teriak-teriak butuh sentuhan tapi apalah daya jika hati enggan tergerak. Padahal dulu gue nonton segala jenis film masuk, baca segala jenis buku dari yang garing sampe yang super keren khatam. Sekarang? Nope. Nggak ada yang bisa menarik perhatian gue.

Dari sekian banyak film yang gue tonton tahun ini, hanya Little Forest yang bisa memenuhi ekspektasi gue. Dari sekian banyak drama korea bertebaran dengan rating super tinggi, hanya My Wife is Having an Affair this Week nya JTBC yang tayang tahun lalu yang berhasil membuat gue puas dengan ceritanya. Buku? Gue telah sepenuhnya beralih dari fiksi ke poetry, gue telah berpaling dari Windry Ramadhina ke Amanda Margareth saking frustasinya nggak bisa nemu cerita yang gue pengenin. 

So, this is several things what I've been looking for in a story..


Angst
/äNG(k)st/
noun
a feeling of deep anxiety or dread, typically an unfocused one about the human condition or the state of the world in general.
Kalau di buku disebutnya tragedy, kalau di drama namanya melodrama. Gue nggak suka romcom-cringe gula-gula diabetes gitu karena menurut gue pesan yang disampein nggak akan dalem. Genre menye-menye yang bikin mata sembab dan idung ingusan gini nyatanya paling susah buat di lupain. Contoh novel angst yang cukup berkesan di gue itu Dealova nya Dyan Nuranindya, novelnya lebih parah dari Film nya (dulu sih). Kalau series korea yaa banyak. Salah satu yang terbaik tentu aja melodrama sepanjang masa gue The Innocent Man. Biasanya cerita yang bisa bikin nangis itu punya impact yang cukup gede buat diri gue makanya gue suka.

Narasinya enak, deskriptif, diksi yang dipake pas
Salah satu penulis novel yang kalau bikin narasi pas, diksinya oke, setengah baku tapi nggak kaku, puitis tapi nggak lebay, itu cuma Windry Ramadhina. Dia kalau bikin narasi itu ngalir banget. Gue terinspirasi banget sama cara nulis dia dan gue akui cara dia menulis itu banyak memperngaruhi cara gue nulis. Terus gue pernah baca novel jadul punya Fidriwida judulnya Sleepaholic itu juga cara nulisnya keren. Kalau ini diksinya biasa tapi deskriptif banget jadi gue kayak bisa bener-bener bayangin situasi disekeliling tokohnya, ajaib menurut gue. 

Anti-hero stan
Big no for Mary Sue or Gary Stu. 
Kalau dia protagonist, gue nggak suka karakter macem raja ratu yang perfect wanbyeokhae gitu. Karakter yang sehat both physically and mentally nggak bisa bikin gue berempati dan tertarik dengan cerita mereka. Lebih parahnya sekarang gue malah ada kecenderungan jadi villain stan. -_- Gue tahu jarang banget ada orang yang pros sama villain, tapi belakangan ini gue cenderung lebih merhatiin si villain di sebuah cerita. Gue percaya villain itu nggak serta-merta jahat dari lahir dan biasanya kalau dilihat lebih dalam, si villain itu punya luka yang terlambat diobati makanya dia kek gitu. *okesip abaikan. 

Karakter antimainstream.
Gue suka karakter yang savage. Savage is lyfe. Tough life, bitchy boleh, brengsek boleh asal tidak hilang nilai-nilai kemanusiaan dalam diri dia. Semakin complicated karakternya, makin asik. Dia boleh terluka tapi dia nggak boleh lupa tersenyum, dia boleh lemah tapi dia harus terus berusaha untuk bangkit, dia boleh putus asa tapi harus tetap ingin hidup. Pokoknya dia nggak boleh lemah luaran dan pembawannya.

No BUCIN.
Bucin; Butuh Micin, eh maksudnya Budak Cinta.
Nggak ada keren-kerennya dijajah sama cinta. Meski nih ya gue itu penikmat classic romance garis keras, tapi kalau si tokoh bucin, jadi nggak classy. Gue dengan mudah hilang respek sama tokoh lemah yang tak berdaya bila hidup tanpa cinta gitu. Patah hati boleh tapi dengan cara yang elegan. Pokoknya tokoh di cerita yang gue baca nggak boleh terlihat miserable hanya karena cinta. Apalagi kalau cinta buta. BYE!

Sacrifice
Pesan moral ini yang paling sering gue cari dari sebuah cerita. Sacrifice can change the world, bruh! Gue lemah dengan cerita macem gini. Tapi yang perlu diingat, pengorbanan itu beda dengan cinta buta. 

POV
Gue cenderung suka cerita dengan Point of View orang pertama, bukan orang ketiga, karena biasanya cerita yang disampein pakai POV orang pertama lebih bisa menggambarkan keadaan internal tokohnya. Emosi nya lebih ngena gitu. Kekurangan pakai POV ini adalah kita cuma bisa tahu apa yang terjadi di dalam diri satu tokoh aja. Bisa sih untuk dua tokoh tapi biasanya ada judul yang obviously memaksa kita untuk sadar kita lagi pake POV siapa dan gue nggak suka dengan distraction itu (apasih pin ribet? -_-). Intinya, gue suka cerita yang pakai kata ganti, "Aku". Titik.

Point lain, gue lebih suka cerita yang pake POV orang pertama cowok.  Nggak tahu kenapa mungkin karena cowok itu main logika jadi dia nggak gampang baper karena otaknya masih dipake. Biasanya cowok itu lebih rasional dan kepala dingin ketimbang cewek. Tapi justru disini serunya, saat dihadapkan dengan konflik eksternal, akan ada gesekan dalam diri mereka untuk tetap pake otak atau pake hati. Itu yang bikin twist nya seru. Contoh novel yang berhasil pakai POV orang pertama cowok, Montase nya Windry Ramadhina, Let Go nya Windhy Puspitadewi.

Slice of Life
Ada deskripsi yang cukup detail tentang bawaan dan atribut si tokoh yang bukan sekedar tempelan yang sengaja dibuat untuk menambah latar belakang tokoh. Contohnya, pekerjaan si tokoh. Misal, kalau dia dokter, harus ada cerita yang membawa gue pada jawaban kenapa dia jadi dokter, gimana dia bisa jadi dokter, bagaimana hidup dia sebagai dokter dan yang terpenting hidup dia harus menganut nilai-nilai yang di pegang oleh dokter. 

Lastly, MORALITY.
Apa yang dicari dari sebuah cerita? Tentu saja pesan moral yang bisa diambil yang akan membuat cerita itu layak untuk dikenang. Pesan moral yang bisa memberikan impact untuk diri gue itulah yang sebetulnya gue cari. Nggak mesti pesan yang berat dan serius-serius amat, tapi bisa pelajaran sederhana misalnya tentang rasa syukur, tentang melepaskan, tentang pemaafan, pokoknya ada pelajaran baru yang gue dapet dari cerita itu yang bisa membuka sudut pandang baru, apapun itu yang penting pesannya sampe di gue secara emosional.

Pretty simple.

You Might Also Like

0 komentar

Comment