[Ada Alien] Citizen Journalist Academy 2017 #Energi Muda Pertamina
August 05, 2017
"Ketika anak piyik remehan biskuit bau Acetic Acid yang kemarenan kagak bisa ngerjain ujian Kinetika Reaksi Homogen II, tiba-tiba mental keluar bimasakti, maka yang selanjutnya terjadi adalah.."
Gue cuma mau bilang; dunia itu luas, sob.
Dunia bukan perkara dapetin nilai A di semua matkul.
Dunia itu soal belajar dan terus belajar.
Jadi kemarenan, gue mencoba belajar dengan cara yang lain. Gue ikutan workshop dan audisi Citizen Journalist Academy yang diadakan oleh Pertamina bekerjasama dengan Liputan6 SCTV dan Indosiar.
Pasti banyak yang nggak sadar kalau satu dari ratusan orang yang duduk di bangku empuk Ice Palace itu adalah alien.
Saking semangat 45-nya, gue bolos bolos kuliah (padahal gue ujian dua matkul) *kurang ajar gimana lagi coba gue?* Dengan bantuan babang grab yang sabar menghadapi keruwetan Salemba - Matraman yang lagi bikin fly over sembari menghantam polusi Jakarta yang kadar karbon nya mungkin udah mendekati Nilai Ambang Batas, sampailah gue di Ice Palace Lotte Shopping Avenue dengan selamar sehat sentosa dan tepat waktu.
Lolos audisi jelas bukan tujuan utama, CV gue jauh dari kata 'layak'. Anggep aja gue cuma pengen nyari perkara dengan cabut kuliah~ *eeeh?
Jadi, terlepas dari CV gue yang lebih cocok dijadiin bungkusan gorangan kalau dibandingkan dengan CV temen-temen yang gue kenal di venue itu, niat gue sebetulnya mulia. Karena sebetulnya, ada sesuatu dalam diri gue yang berbisik untuk mundur sekali lagi, untuk mengicip secuil manisnya Si Mimpi, untuk bernostalgia barang sejenak dengan angan-angan yang dulu pernah terselip dalam bait do'a.
Absurd memang.
Seorang calon insinyur terjebak diantara calon-calon jurnalis.
Tahu gimana rasanya?
Kayak ditendang keluar bimasakti. Thrilling.
Kayak diem-diem nelen air keran pas wudhu waktu lagi puasa.
Kacau emang, tapi seger parah.
Gimana kagak insecure coba?
Gue Si Anak Emak yang sok ngecap dirinya jago 'nulis' dengan modal demen ngeracau nggak jelas di blog sama hobi baca ini, tahu-tahu sok-sokan ikutan audisi gede, bersaing dengan para Jurnalis keceh yang udah punya jam terbang liputan tak terhitung dengan CV mereka yang bikin silau yang kartu hasil studi mereka ngerentet A semua.
Ya Allah tolong, gue aja ujian Termodinamika yang lancar jaya tetep dapet C (?)
*mengapa ku jadi drama?*
Jadi, alasan paling rasional untuk menjawab tingkah irasional gue pada hari itu adalah karena gue pengen escape from reality. Daripada gue kabur ke Dufan mahal-mahal balik darisana suara malah ilang karena jerit-jerit, mending gue melipir ke Ice Palace, ngadem, sambil beli CaTime, udah ketemu orang ganteng, ngeliat para host yang biasanya cuma bisa gue liat di TV. Lihatlah betapa berfaedahnya hidup gue ini.
Turning moment, itu sebutanya.
Memulai semuanya dari awal kayak bayi baru lahir. Ketika gue seolah berada di titik energi nol, ketika gue menjadi nothing diantara para something. Nyari pengalaman dengan cara yang baru. Gue pengen ngasih liat ke diri sendiri kalau di luaran sana banyak hal menarik selain ngitungin Transformasi Laplace yang sampe saat ini gue nggak tahu itu buat eksekusi apaan. Biar otak gue nggak lagging karena keseringan ngitung nerasa panas biar reaktor gue nggak meledak kalau gue bikin pabrik nanti.
Jadi,
Empat jam didalem ruangan yang dinginnya nauzubillah itu bikin otak gue yang semula nggak keruan akhirnya menemukan secercah sinar kehangatan, menemukan apa yang sesungguhnya gue cari dari menjebakan diri di lingkaran asing.
Every people had their own battlefield.
Setiap orang punya ring gulatnya masing-masing.
Betapa sombongnya kita jika merasa sudah menjadi orang hebat hanya karena kita menguasai suatu bidang keilmuan. Magister of blabla.. master of lalala..
Kayak yang makin sering terjadi belakangan ini, ketika kebebasan berpendapat disalahartikan dengan kebebasan merendahkan orang lain juga. Karena merasa dirinya paling pintar itulah ia merasa punya hak untuk menilai orang lain dan mengomentari sesukanya. Setelah itu munculah penyakit hati yang namanya 'selalu merasa dirinya benar', mulailah ia menilai suatu hal secara subjektif hanya karena ia merasa tahu lebih banyak. Vokal tapi nggak bisa terima masukan. Ujung-ujungnya terjebak di tengah lingkaran setan. Merasa paling pintar adalah hal yang orang bodoh lakukan.
Nggak ada alasan yang membenarkan untuk kita menjadi sombong hanya karena kita cumlaud di satu bidang, tolong. Setiap orang punya porsinya masing-masing.
Ketemu orang dari bidang keilmuan berbeda di Workshop CJA kemarin, bikin gue sadar, okelah ngitung integral gue emang merem. Tapi toh udah sampai situ aja. Kita akan dikatakan hebat jika ilmu yang kita pelajari bisa diterapkan, tapi ilmu gue selama enam semester di Fakultas Teknik nggak akan berguna di tempat itu. Gue bukanlah apa-apa ketika sudah bertemu dengan orang-orang di luar sana. Gue nggak tahu gimana bikin summary berita, gue nggak ngerti gimana etika berwawancara, gue nggak ngerti videography, gue nggak pede bercuap di depan kamera, dan lain sebagainya.
This kind of impact inilah yang menjadi alasan mengapa bapake ngijinin gue cabut ujian cuma demi acara yang pada akhirnya nggak ada bekas nyatanya buat diri gue. Bertemu orang-orang kece yang punya passion gede banget di bidangnya inilah yang membuat pikiran gue terbuka, yang bikin acara ini jadi bermakna untuk gue.
Biar gue belajar untuk terus belajar.
Biar gue selalu inget kalau dunia bukan cuma sebesar telapan tangan.
Terima kasih CJA 2017 yang sudah memberikan kesempatan bagi gue untuk belajar.
Salam sayang dari alien di barisan depan :*
Gue cuma mau bilang; dunia itu luas, sob.
Dunia bukan perkara dapetin nilai A di semua matkul.
Dunia itu soal belajar dan terus belajar.
Jadi kemarenan, gue mencoba belajar dengan cara yang lain. Gue ikutan workshop dan audisi Citizen Journalist Academy yang diadakan oleh Pertamina bekerjasama dengan Liputan6 SCTV dan Indosiar.
Pasti banyak yang nggak sadar kalau satu dari ratusan orang yang duduk di bangku empuk Ice Palace itu adalah alien.
Saking semangat 45-nya, gue bolos bolos kuliah (padahal gue ujian dua matkul) *kurang ajar gimana lagi coba gue?* Dengan bantuan babang grab yang sabar menghadapi keruwetan Salemba - Matraman yang lagi bikin fly over sembari menghantam polusi Jakarta yang kadar karbon nya mungkin udah mendekati Nilai Ambang Batas, sampailah gue di Ice Palace Lotte Shopping Avenue dengan selamar sehat sentosa dan tepat waktu.
Gue cuma pernah punya satu cita-cita selama hidup ; jadi Jurnalis.
Maka, waktu teman yang baru gue kenal di venue tiba-tiba ngomong; "KOK BISA LO ANAK TEKNIK?"
Gue cuma bisa senyum ala iklan pasta gigi.
Maka, waktu teman yang baru gue kenal di venue tiba-tiba ngomong; "KOK BISA LO ANAK TEKNIK?"
Gue cuma bisa senyum ala iklan pasta gigi.
Kadang, kita terlalu asyik menjalani hidup kita sebagai diri yang lain. Terlalu sibuk dengan garis finish yang dipatok di depan sana sampai lupa darimana sebenarnya kita memulai. Lalu, setelah terlanjur jauh kita melangkah, kita baru sadar jika kita berlari sendirian..
Karena mimpi kita tertinggal di belakang.
Karena mimpi kita tertinggal di belakang.
Gue pernah mendeklarasikan cita-cita gue untuk menjadi seorang Jurnalis dengan gagah berani ketika gue duduk di kelas 4 SD dan konsisten sampai gue SMP. Sayangnya, dunia tempat kita hidup bukan dunia tempat Thumbelina tinggal. Realita. Seperti yang gue katakan tadi, gue sadar mimpi gue tertinggal di belakang ketika gue sudah sampai pada titik dimana sangatlah sulit jika harus mundur kembali dan gue terlalu pengecut untuk berputar balik.
Kalau aja kemarin ada yang nanya, "Ngapain anak teknik ngikut beginian?"
Kalau aja kemarin ada yang nanya, "Ngapain anak teknik ngikut beginian?"
Lolos audisi jelas bukan tujuan utama, CV gue jauh dari kata 'layak'. Anggep aja gue cuma pengen nyari perkara dengan cabut kuliah~ *eeeh?
Jadi, terlepas dari CV gue yang lebih cocok dijadiin bungkusan gorangan kalau dibandingkan dengan CV temen-temen yang gue kenal di venue itu, niat gue sebetulnya mulia. Karena sebetulnya, ada sesuatu dalam diri gue yang berbisik untuk mundur sekali lagi, untuk mengicip secuil manisnya Si Mimpi, untuk bernostalgia barang sejenak dengan angan-angan yang dulu pernah terselip dalam bait do'a.
Absurd memang.
Seorang calon insinyur terjebak diantara calon-calon jurnalis.
Tahu gimana rasanya?
Kayak ditendang keluar bimasakti. Thrilling.
Kayak diem-diem nelen air keran pas wudhu waktu lagi puasa.
Kacau emang, tapi seger parah.
Gimana kagak insecure coba?
Gue Si Anak Emak yang sok ngecap dirinya jago 'nulis' dengan modal demen ngeracau nggak jelas di blog sama hobi baca ini, tahu-tahu sok-sokan ikutan audisi gede, bersaing dengan para Jurnalis keceh yang udah punya jam terbang liputan tak terhitung dengan CV mereka yang bikin silau yang kartu hasil studi mereka ngerentet A semua.
Ya Allah tolong, gue aja ujian Termodinamika yang lancar jaya tetep dapet C (?)
*mengapa ku jadi drama?*
Jadi, alasan paling rasional untuk menjawab tingkah irasional gue pada hari itu adalah karena gue pengen escape from reality. Daripada gue kabur ke Dufan mahal-mahal balik darisana suara malah ilang karena jerit-jerit, mending gue melipir ke Ice Palace, ngadem, sambil beli CaTime, udah ketemu orang ganteng, ngeliat para host yang biasanya cuma bisa gue liat di TV. Lihatlah betapa berfaedahnya hidup gue ini.
Turning moment, itu sebutanya.
Memulai semuanya dari awal kayak bayi baru lahir. Ketika gue seolah berada di titik energi nol, ketika gue menjadi nothing diantara para something. Nyari pengalaman dengan cara yang baru. Gue pengen ngasih liat ke diri sendiri kalau di luaran sana banyak hal menarik selain ngitungin Transformasi Laplace yang sampe saat ini gue nggak tahu itu buat eksekusi apaan. Biar otak gue nggak lagging karena keseringan ngitung nerasa panas biar reaktor gue nggak meledak kalau gue bikin pabrik nanti.
Jadi,
Empat jam didalem ruangan yang dinginnya nauzubillah itu bikin otak gue yang semula nggak keruan akhirnya menemukan secercah sinar kehangatan, menemukan apa yang sesungguhnya gue cari dari menjebakan diri di lingkaran asing.
Every people had their own battlefield.
Setiap orang punya ring gulatnya masing-masing.
Betapa sombongnya kita jika merasa sudah menjadi orang hebat hanya karena kita menguasai suatu bidang keilmuan. Magister of blabla.. master of lalala..
Kayak yang makin sering terjadi belakangan ini, ketika kebebasan berpendapat disalahartikan dengan kebebasan merendahkan orang lain juga. Karena merasa dirinya paling pintar itulah ia merasa punya hak untuk menilai orang lain dan mengomentari sesukanya. Setelah itu munculah penyakit hati yang namanya 'selalu merasa dirinya benar', mulailah ia menilai suatu hal secara subjektif hanya karena ia merasa tahu lebih banyak. Vokal tapi nggak bisa terima masukan. Ujung-ujungnya terjebak di tengah lingkaran setan. Merasa paling pintar adalah hal yang orang bodoh lakukan.
Nggak ada alasan yang membenarkan untuk kita menjadi sombong hanya karena kita cumlaud di satu bidang, tolong. Setiap orang punya porsinya masing-masing.
Ketemu orang dari bidang keilmuan berbeda di Workshop CJA kemarin, bikin gue sadar, okelah ngitung integral gue emang merem. Tapi toh udah sampai situ aja. Kita akan dikatakan hebat jika ilmu yang kita pelajari bisa diterapkan, tapi ilmu gue selama enam semester di Fakultas Teknik nggak akan berguna di tempat itu. Gue bukanlah apa-apa ketika sudah bertemu dengan orang-orang di luar sana. Gue nggak tahu gimana bikin summary berita, gue nggak ngerti gimana etika berwawancara, gue nggak ngerti videography, gue nggak pede bercuap di depan kamera, dan lain sebagainya.
This kind of impact inilah yang menjadi alasan mengapa bapake ngijinin gue cabut ujian cuma demi acara yang pada akhirnya nggak ada bekas nyatanya buat diri gue. Bertemu orang-orang kece yang punya passion gede banget di bidangnya inilah yang membuat pikiran gue terbuka, yang bikin acara ini jadi bermakna untuk gue.
Biar gue belajar untuk terus belajar.
Biar gue selalu inget kalau dunia bukan cuma sebesar telapan tangan.
Terima kasih CJA 2017 yang sudah memberikan kesempatan bagi gue untuk belajar.
Salam sayang dari alien di barisan depan :*
P.S tulisan diatas adalah kacaan dari seorang anak teknik yang sering orang anggap sebagai golongan paling skeptis di muka bumi ini :)
0 komentar
Comment