Dieng - Truly Definition of Heaven on Earth

June 09, 2019

Setiap dalam perjalanan mudik ada satu kota yang menjadi kota favorit gue; Wonosobo. Setiap kali lewat sana, kabut tebal dan gemiris kecil selalu menyambut. Suasananya yang sendu, udaranya yang sejuk dan kontur alamnya yang menakjubkan bikin gue mempredikati Wonosobo sebagai kota impian untuk di huni.


Dari lama, gue pengen banget ke Dieng, khususnya ngikut Dieng Fest. Udah kepo-kepo tripnya bahkan nabung bareng anak anak lab untuk kesana udah di lakuin dan ujung-ujungnya gagal. Akhirnya lebaran ke-2 kemarin, gue dan keluarga berhasil melipir ke tempat ini.

Karena niat utamanya emang mengejar Golden Sunrise di Sikunir, gue berangkat dari Cilacap kurang lebih pukul 23.00, sampai di Wonosobo kota sekitar pukul 03.00 dan sampai di Gerbang Dieng Plateau sekitar pukul 04.00. Setelah sholat Subuh, kita lanjut jalan ke Sikunir dan sampai di sana sekitar pukul 05.00. Jalanan yang gue lewati menuju ke atas cenderung sepi bikin gue berfikir bakal asyik banget kalau tempat yang gue datengin nanti tidak ramai pengunjung, tapi semua sirna ketika gue sampai di gerbang menuju Sikunir. Mobil gue udah nggak bisa lagi parkir diatas, dimana gue harus naik ojek untuk sampai ke start point pendakian bukit. Disanalah gue baru tahu kalau Sikunir sepi hanyalah mimpi. Parking area sudah padat dan rute pendakian sudah penuh sesak dengan orang-orang yang hendak mengejar Sunrise.

Definisi Dieng sebagai Negeri Di Atas Awan, atau gue lebih suka menyebutnya, Heaven on Earth ini nyatanya bukan tanpa sebab. Bener-bener kayak surga di atas awan.

View pertama yang bikin jaw dropping adalah telaga yang ada ditengah perjalanan menuju Sikunir, namanya Telaga Cebong. Saking takjubnya, gue sampe nggak berhenti nengok ke samping buat bener-bener menikmati apa yang gue lihat, nggak mau ketinggalkan momen sama sekali. View ini dabes banget sebagai opening untuk orang yang mau mendaki. Bahkan demi menikmati pemandangan ini dengan lebih sakral, gue ngajak adek gue jalan kaki aja balik ke tempat parkir, sayangnya adek gue terlalu cemen untuk mengiyakan. 


Foto diatas diambil dalam perjalanan pulang, saat gue boti sama bapake dan babang ojek dengan satu tangan megang handphone dan satu tangan lagi megang sosis bakar. Setelah balik ke mobil, kita lanjutin perjalanan ke Dieng Theater buat nonton film pendek dan naik ke Batu Pandang Ratapan Angin (Bener ga sih namanya?).




Darisini kita bisa liat pemandangan Telaga Warna dari atas. Kalau liat foto orang-orang, dua telaga dibawah sana bisa ngasilin warna yang beda. Biasanya yang satu warnanya agak kebiruan dan yang satunya kehijauan. Tapi waktu gue kesana, dua-duanya keliatan ijo looh -_- 


Tapi seriusan sih ya nggak bohong, ini tuh macem liat lukisan 4D gitu. Bagusnya bikin kita nyebut nama Allah terus. Gue nggak sampe ke atas banget karena waktu itu udah cukup siang, udah banyak banget orang dan susah banget buat dapet spot foto yang bagus tanpa ada balaan figuran nyempil di foto kita. Balik darisana, gue dan adek gue memutuskan ke tempat parkir lewat jalan pintas dengan cara; naik flying fox.


Ini pemandangan dari tempat gue Flying Fox. Agak cupu sih rel nya, tapi lumayan good good buat ngekhayal terbang diatas dataran tinggi gini. Sampe dibawah, gue punya sahabat baru; kepik kuning yang nemplok di topi ogut.


Setelah darisana, kita bisa memilih untuk melihat Telaga Warna dari dekat, tapi gue skip kesana karena kayaknya lebih oke liat dari atas ketimbang dari samping. Karena itu, gue langsung menuju ke Kawah Sikidang, destinasi lain yang masuk ke list must visit Dieng. Disini juga gue cuma mantau kondisi doang. Matahari mulai terik dan tenaga udah habis buat nanjak di Sikunir dan Di Batu Ratapan Angin tadi. Walau udah terbiasa dengan bau alkohol, bahkan amonia dan segala jenis bau-bau bahan kimia di lab, nyatanya nggak membuat gue resisten sama bau belerang. Masker double yang gue pakai di tambah lilitan kerudung nggak bikin gue terhindar dari eneg alias mual. Disini tugas gue cuma motoin emak dan foto yang di dapet juga nggak banyak yang bagus karena udah terlalu banyak orang.


Perjalanan gue ditutup dengan gagal ke Candi Arjuna karena macet yang ruar byasa tak terhindari. Ada beberapa hal yang agaknya perlu gue bahas sebagai review perjalanan gue kali ini. Boleh di koreksi kalau informasi yang gue sampaikan ini salah.

Ada yang begitu kontras terasa berbeda ketika gue mendatangi Sikunir - Dieng Theater dengan ketika gue mendatangi Kawah Sikidang dan Komplek Candi. Ternyata, dua tempat ini berada di Kabupaten yang berbeda. Sikunir, Telaga Warna dan Dieng Theater masuk ke Kabupaten Wonosobo sedangkan Kawah Sikidang dan Kompleks Candi masuk ke Kabupaten Banjarnegara. Ada yang begitu kontras terasa ketika kita memasuki tempat wisata dari dua kabupaten tersebut. Selama di Dieng Wonosobo, gue dibuat takjub dengan bagaimana tertibnya tukang ojeg yang mengantri mengantar penumpang ke Sikunir, tukang parkir dan tempat parkir yang rapih, pegadang di sepanjang jalan yang tertib dan bersih, tidak hanya tertib, mereka juga informatif. Begitu pula dengan fasilitas-fasilitas yang disediakan. Papan informasi yang akurat dan nama tempat yang dibuat ikonik membuat servis yang diberikan oleh pengelola Dieng Wonosobo patut diacungi dua jempol. Usut punya usut, mereka dibina oleh komunitas benama POKDARWIS (Kelompok Sadar Wisata) yang membuat warga yang terlibat langsung di dalamnya menjadi teredukasi dengan fungsi pokok masing-masing. Hal ini patut di apresiasi mengingat di Indonesia sendiri masih jarang tempat wisata memiliki servis sebaik ini. Hal ini bisa langsung dibuktikan di tempat yang sama, Dieng Banjarnegara. Begitu masuk ke pintu masuk Kawah Sikidang, mobil-mobil langsung di serbu dengan orang-orang yang hendak menjual masker. Terlihat ada persanginan ketat antar pegadang yang jujur saja membuat gue nggak nyaman. Pasar yang menjadi akses masuk menuju Kawah Sikidang tidak tertata, begitu pula dengan pos-pos selfie di dalam kawasan kawah yang seperinya LIAR. RETRIBUSI LIAR ini sedikit mencoreng citra baik yang sudah gue rasakan di Dieng Wonosobo. Liar disini maksudnya, kita akan dikenai biaya jika ingin berfoto dengan backdrop yang mereka bawa, tanpa ada tiket resmi. Lain dengan Dieng Wonosobo, memang, saat kita masuk ke satu tempat wisata, kita harus membayar tiket masuk secara terpisah, tapi setelah masuk ke sana, semua fasilitas yang ada didalam sana bebas untuk digunakan. Belum lagi kondisi masuk ke komplek Candi yang tidak diatur yang membuat gue memutuskan untuk tidak jadi kesana karena ketidak tertiban yang terjadi disana.

Harapan gue, semoga pemerintah dan jajaran yang terlibat bisa memperbaiki kondisi ini. Sayang aja kalau terus dibiarkan. Masyarakat sekarang sudah banyak yang terbuka pola pikirnya. Gue yakin, retribusi tidak membebani pengunjung selama peruntukannya jelas dan ada tiket resmi yang bisa membuktikan jika uang yang dibayarkan akan di setorkan ke wadah yang semestinya. *sungkem.

Kita tutup postingan ini dengan gambar yang gue ambil dari dalam mobil saat perjalanan pulang.

You Might Also Like

0 komentar

Comment