Memaknai Film G30S/PKI

October 01, 2017

Alasan gue pengen bikin tulisan ini adalah karena selama 22 tahun hidup, baru sekali ini nonton film kolosal histori yang Indonesia sendiri punya. Nggak ngerti juga sih kenapa tuh film lebih layak disebut Thirller-Horor ketimbang cerita historic karena mencekam banget. Yang bikin gue usik pengen nulis panjang lebar begini adalah karena kicauan gue di jejaring menimbulkan beberapa komentar pahit semisal, “Udah gue duga lu itu pendukung orba dan anti kiri,”

Ehey bos! 2k17  jamannya Revolusi Mental, napa pula gue harus mihak sesuatu di masa lalu yang gue sendiri nggak ngerasain gimana pemerintahannya? Gue pilih demokrasi berbasis syariat Islam kalau bisa.
Penayangan kembali film ini aja udah bikin kontroversi. Dibilang sengaja ngangkat isu Komunisme dalam rangka blabla-lah, film ini ga boleh tayang karena tidak 100% nyatalah, Film ini merusak citra TNI-lah. Jokowi yang pernah dibilang komunis aja memberi izin dan ikut nobar, kenapa banyak pihak yang insecure duluan? Padahal nggak ada paksaan untuk menyaksikan. Nggak seperti jamannya ibu-bapak gue yang setiap tanggal 30 Sepetember kudu-wajib-harus-fardu-ain nonton nih film sampe beliau hapal betul adegan per adegannya.

Alasan film ini diputar kembali kayaknya karena isu Komunisme kembali menghangat beberapa waktu ini. Semua itu bukan semata untuk merobek lagi luka di masa lalu yang belum sepenuhnya tersembuhkan, melainkan untuk bahan introspeksi diri, untuk meningkatkan waspada masyarakat tentang keberadaan kelompok-kelompok radikal yang menurut film nya sendiri masih melakukan “pergerakan tanpa bentuk”, juga untuk memperkuat persatuan dan terus berpegang pada Pancasila.

Terlepas film yang hampir 20 tahun tidak diputar lagi ini bikin beberapa pihak mengendus adanya konspirasi dan usaha untuk menggiring masyarakat ke satu arah tertentu, terlepas juga film ini emang film proyeknya rezim yang berkuasa saat itu, dalam hal ini orde baru, gue tetep pengen nonton. Ngeliat gimana film ini sukses menimbulkan trauma psikologis pada komunisme di Indonesia bikin gue penasaran dengan apa yang sebetulnya terjadi. 3+jam nonton film yang temanya berat dan resolusinya jauh di bawah HD itu butuh kesabaran ekstra dan keinginan yang sangat kuat loh sodara-sodara..

Sebelum nonton film ini, sebaiknya kita tegaskan beberapa hal dulu, selain ada ruang komersial dan idealisme, skenario yang dibuat di film ini sudah distempel sebagai propaganda Orde Baru. Ini hanya sebuah karya kreatif dimana kreator ingin menyampaikan sebuah pesan, terlepas isi film itu akurat atau tidak.

Beda dengan bapak-ibu gue yang punya basik ilmu sosial dan hidup di jaman petrus berseliweran, intel nyamar jadi Pak Tani dan anak buah Pak Harto nyamar jadi Kang Sayur buat nyusup diantara ibu-ibu rumpi, gue yang anakan eksakta ini punya kecenderungan skeptis sama yang namanya sejarah apalagi politik. Menuru gue sejarah itu sifatnya subjektif tergantung dari sudut pandang si pencerita peristiwa tersebut. Karena kesubjektifan itu kadang gue merasa dipermainkan oleh sejarah. Bahkan sejarah yang tertulis di buku SD dulu kebenarannya masih gue curigai. Perlu di cermati lagi tafsir-tafsirnya tapi ya tentu saja boleh dipercaya selama belum ada pembandingnya. Termasuk membedah peristiwa G30S-PKI, nulis lagi kisahnya disini itu kayak bikin resensi film fiksi tentang konspirasi politik garapan sutradara brillian. Kayak drama yang nyeritain konflik rumah tangga pasukan elit suatu negara dengan pemimpin negaranya yang lalu dimanfaatkan oleh kelompok eksternal untuk unjuk gigi. Masih menyisakan sejuta misteri sampai saat ini dan semakin di bahas semakin bikin pusing kepala.

Jadi, kepada paman berfikiran pendek yang melabeli orang-orang yang bedagang mantengin tvOne 29 September lalu sebagai “bot orba” dan mengatakan film ini cuma akan menguatkan fobia kita kepada komunisme, maka gue mau bilang; Nape emang? Faktanya komunisme memang pernah ada, itu harus diakui. Walau beberapa kali melakukan aksi separatis, PKI adalah partai gede di Indonesia yang pernah menjadi pemenang ke-4 dalam pemilu 1955, salah kalau bilang sejarah tentang mereka harus dihapus.

Situ intelek tapi kok kerjaannya nyinyir. Toh film itu memang satu-satunya media yang paling lantang bercerita tentang kejadian itu. Gue sedang dalam rangka mencoba untuk tidak melupakan sejarah nih makanya gue ngemeng.

"Darah itu merah Jenderal!"

"Mana Nasution?"
"Saya Nasution!"

"Dalam revolusi itu biasa,"

Kalimat itu ikonik banget. Kalimat yang bapak gue sadur berkali-kali sejak gue nyalain tv sampe sore tadi.

Selama hampir 4 jam gue mantengin TV, gue jadi makin paham kalau peristiwa itu bukan semata serangan membabi-buta orang-orang PKI pada para Jendral karena ingin menjadi partai penguasa. Banyak subplot yang nggak pernah gue tahu sebelumnya, banyak faktor yang bisa dijadikan dalang dari peristiwa ini. Ada konflik internal Angkatan Darat, konflik Soekarno dengan Soeharto, intervensi luar negeri terhadap politik Indonesia. Dan yang paling keliatan di gue adalah, ada aktor intelektual yang mahir bermain peran dan memanfaatkan secuil situasi.

Komunis itu kan ideologi.
Yang membuat itu menjadi salah adalah karena faham yang dianut oleh komunisme itu bertolak belakang dengan Pancasila. Rezim Orde Baru menanamkan faham kepada masyarakat pada waktu itu bahwa PKI dan komunisme adalah sesuatu yang "diharamkan". Padahal jelas, ada keterlibatan lansung militer dalam peristiwa naas itu tapi Pak Harto langsung bilang ke media kalau semua itu kerjaan PKI.

Usut punya usut Pak Harto juga di backing sama Amerika untuk melancarkan kudeta merangkak itu. Polos aja sih kalau ngira Amerika ngebantu dengan tulus ikhlas, pasti mereka juga punya kepentingan2 yang sudah diperhitungkan. Pemerintah Orba punya andil besar dalam menanamkan memori dan mendoktrinisasi masyarakat Indonesia tentang betapa kejam dan tidak manusiawinya peristiwa tersebut. Film G30S-PKI ini seolah menjadi senjata ampuh Pak Harto atau proyek setengah kampanye yang sangat manjur untuk menanamkan pemahaman PKI itu haram. Belum lagi jaman dulu berpendapat dibatasi, kritik dibungkam, pemberontak di tembak.

Jadi apa bedanya Indonesia 50 tahun lalu dengan kepemimpinannya Kim Jongun yang sekarang? Merdeka tapi nggak benar-benar merdeka?
Aman tapi melanggar HAM.

Kalau menurut beberapa tulisan yang gue baca (sekali lagi, sumber-sumber tersebut bisa saja subjektif), jika ditelisik lagi, banyak sekali kejanggalan yang terjadi sejak peristiwa itu sampai runtuhnya kejayaan orde lama.
Salah satunya, pertanyaan kenapa Soeharto yang jadi presiden padahal Nasution masih hidup?

Militer itu memang seharusnya tidak boleh terkontaminasi dengan urusan partai politik. Bahaya banget kalau militer disusupi oleh ideologi radikal kayak yang terjadi waktu itu. Masa iya pasukan bersenjata melawan pasukan bersenjata? Situ ngelindungi rakyat atau melindungi kepentingan kelompok? Kejadian kayak gitu akan terus menjadi noda yang tidak bisa dihapus dalam sejarah kemiliteran Indonesia yang mau nggak mau harus kita terima.

Ringkas cerita sejarahnya gini..

Tanggal 30 September - 1 Oktober 1965, terjadilah peristiwa naas dimana beberapa jenderal Angkatan Darat diculik dan dibunuh oleh pasukan elit pengawal presiden Tjakrabirawa. Jenderal yang menjadi korban antara lain; A. Yani, Pandjaitan, Soetoyo, Soeprapto, S. Parman, MT. Haryono, Pierre Tendean, KS. Tubun, Katamso, dan Sugiyono.

Dulu gue nggak paham kenapa disebutnya ‘pemberontakan’. Apa? Siapa? Kenapa jenderal dibunuh oleh pasukannya sendiri? Dan apa hubungannya dengan PKI? Gue belum bisa memaknainya kala itu.

Jadi, kala itu Soekarno sakit. PKI mempertanyakan siapa yang akan jadi presiden kalau Soekarno meninggal nantinya. DN Aidit (tokoh PKI) khawatir militer-lah yang akan menggantikan Bung Karno. Terlebih lagi ada isu Dokumen Gilchrist yang bilang bakalan ada kudeta yang didalangin sama Dewan Jenderal. Karena itu DN Aidit dan komplotannya bikin kelompok namanya Dewan Revolusi untuk memerangi Dewan Jenderal. Letkol Untung dan pasukan Tjakrabirawa yang lainnya ditugaskan untuk menculik para jenderal yang hendak melakukan kudeta ke presiden. Jadi judulnya, mereka seolah hendak melindungi Presiden Soekarno dari kudeta para jenderal itu gitu. Jenderal-jenderal tersebut di eksekusi 30 September waktu subuh. Ada yang langsung ditembak di tempat dan ada sebagian yang dibawa ke Lubang Buaya, disiksa dan dihabisi di sana.

Gue bukannya mau nyebar berita yang belum dipastikan kebenarannya ya..
Gue cuma pengen yang gue tulis disini bisa dijadikan bahan pertimbangan untuk introspeksi sendiri sama sejarah kita.

Usut punya usut, Si Komandannya ini, Letkol Untung ini sangat dekat dengan Pak Harto. Letkol Untung ini sempat laporan ke Pak Harto untuk melakukan gerakan ini dan ya.. beliau merestui. Katanya Pak Harto pernah punya dendam masa lalu sama anggota Dewan Jenderal khusunya sama Jend. A. Yani karena pernah ditempeleng, juga hampir dipecat oleh Nasution.

Agak sulit untuk menjelaskannya karena cerita ini akan melebar dan nyeret banyak nama. Udah kayak melodrama cinta segitiga antara PKI, Presiden dan TNI-AD. Belum lagi nanti ada keterlibatan TNI-AU karena senjata yang ditemukan untuk menyerang Dewan Jenderal itu ternyata milik TNI-AU.

PKI yang saat itu hanya "partai" itu cukup keren sebetulnya. Mereka bisa membina kedekatan dengan Presiden Soekarno juga menjalin hubungan militer, dalam hal ini Angkatan Darat. Namun, kedekatan PKI dan Presiden itu membuat beberapa petinggi militer angkatan darat lainpun gerah.

Ini juga bakalan nimbulin pertanyaan soal isu apakah Soekarno itu komunis atau bukan?
Bung Karno punya konsepsi politik sendiri yang namanya Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis). Beliau ingin ketiga unsur itu bisa berjalan beriringan di Indonesia. Padahal menurut gue nih ya, agamis dan komunis itu tidak bisa disejajarkan. Bung Karno punya hubungan baik dengan Rusia. Gue juga pernah baca kalau beliau itu sangat dekat dengan Kim Jongil (Si Nuklir Ambitionist, mantan Presiden Korea Utara, negara yang dikenal dengan komunismenya, bapake Kim Jongun, meski katanya korut sekarang bukan menganut paham komunis lagi tapi Juche). Saking dekatnya mereka ini, lagu-lagu kebangsaan Indonesia boleh dinyanyikan oleh anak-anak di Korea Utara padahal tuh negara di kenal sangat mengisolasi diri dari kontaminasi negara luar.

Benang merah dari tragedi ini, menurut gue adalah;
TNI-AD terpecah karena masuknya bumbu-bumbu PKI ke dalam organisasinya.
Apa sih yang sangat krusial sampe anak buah tega membunuh komandannya sendiri?
Jawabannya masih abu-abu sampai sekarang.
Pakah militer yang menjadi kambing hitam? Pakah justru PKI yang menjadi kambing hitam?

Kalau dipanjangin lagi bakalan makin ruwet dan nyerempet ke Supersemar yang turun pada 11 Maret 1966. Surat perintah yang menandakan runtuhnya pemerintahan Orde Lama dan berganti ke masa Orde Baru. Gue sendiri masih menyimpan segambreng pertanyaan tentang kejadian tanggal 10-11 Maret ’66 mengenai surat perintah itu. Turunnya Supersemar ini masih relate-able dengan Gerakan 30 September menurut gue, tapi kalau pake ngomongin supersemar disini, makin ruwet lagi.

Sebagai anak museum, kuingin menyerukan: Ayo! Kunjungi Museum Lubang Buaya!



Gue pernah ke museum itu waktu SMA. Nggak ada yang bisa gue khidmati selain suasananya yang mencekam (apalagi ruangan tempat dipajangnya baju-baju yang dikenakan oleh pada Jenderal ketika jenazah mereka ditemuan). Tapi justru, suasananya bikin merinding itulah yang bikin aroma pengkhianatannya kental terasa.

Ada beberapa kejadian yang cukup ngena ketika gue berkunjug kesana. Suasananya begitu muram dan mencekam. Nyeees banget. Padahal waktu kesana, disana cukup ramai, gue bukan orang yang penakut-penakut amat tapi penggambaran jelas kejadian itu bikin gue cukup bikin parno.

Ada kisah paling memorable yang keinget banget di gue sampe sekarang.
kisahnya Jend. Abdul Haris Nasution, Ade Irma Suryani dan Pierre Tendean.
Itu mengharubiru banget sumpah mana di museumnya, ada satu tempat, kayak rumah gitu yang ngejelasin secara detail kejadian di rumah AH Nasution itu sampe gue bener-bener bisa bayangin. Ketika pasukan Cakrabirawa dateng nyerbu rumah Jend Nasution, Tendean langsung pasang badan dan ngaku kalau dia adalah Nasution. Nasution diminta istrinya untuk menyelamatkan diri dan dia lompat pager yang rumahnya tetanggaan sama kantor Dubes Irak. Dia sembunyi disana sampai pagi karena itu Nasution selamat sedangkan Pierre Tendean yang mengaku sebagai Nasution meninggal karena melindungi atasannya. Ade Irma, anak bungsu Nasution tertembak peluru pasukan Cakrabirawa dan meninggal beberapa hari kemudian di RSPAD.
Beberapa mainan peninggalan Ade Irma yang dipajang, gue inget ada sisir sama kaca kecil gitu mainan dia dan itu nyeees banget sumpah. Ada juga rekaman sesuatu tapi gue lupa apa, pake kaset yang udah mendem gitu, suaranya juga bikin gue parno.

Satu lagi, gue baca kalau D I Pandjaitan itu ditembak saat dia lagi berdoa, di depan anak-anaknya. Gimana nggak bikin trauma keluarganya coba?

Peran Pemuda
Ketika kebenaran film ini box office ini mulai dipertanyakan..
Ketika tiba-tiba esensi yang berhasil didoktrin oleh pemerintahan selama belasan melalui film ini dipertanyakan mulai motifnya.
Ketika generasi kritis mulai mempertanyakan keselarasan pemerintahan yang berjalan dengan ideologi yang dianutnya.
Ketika generasi cerdas mulai mempertanyakan kenapa Seoharto tidak masuk daftar Jenderal yang diculik.

Konspirasi mulai terendus.

Efek untuk generasi penerus.
Generasi sekarang, atau bahasa gaulnya kids jaman now, gue termasuk di dalamnya, merasa prinsip-prinsip komunisme sudah kalah bersaing kapitalisme. Kalau dulu, pemerintahan percaya bahwa film ini efektif untuk menangkal ancaman komunisme, maka untuk jaman milenial seperti ini, film buatan seseorang bukanlah satu-satunya sumber sejarah. Kalau orang-orang jaman sekarang masih dipaksa untuk nonton film propaganda macam ini kayak jaman ibu-bapak gue dulu, yang ada malah terbukanya debat konstruktif, bedah sejarah, atau kembali dipertanyakannya kesahihan sejarahnya. Mungkin pemerintah akan diminta untuk merekonstruksi ulang peristiwa sebenarnya secara logis.

Bahkan, kalau gue punya background perfilm-an, gue mungkin akan membuat film ini dengan versi yang berbeda, dari sudut pandang yang berbeda, sudut pandang orang non-orde baru.

Bicara soal pemerintahan di masa lalu.
Bicara soal Soekarno dan Soeharto.
Mau orde lama atau orde baru, ada kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Di orde lama, ekonomi hancur lebur tapi nasionalisme dijunjung tinggi, nggak ada perpecahan. Di orde baru, kesejahteraan nomor satu tapi kebebasan dibatasi, protes dikit ditembak, anti komunis tapi nggak ada beda sama negaranya Kim Jongun yang menyembahtuhankan presiden dan militer.

Efek paling keliatannya menurut gue dari ktragedi itu adalah;
Labelisasi. Komunis,

Sekarangpun gue nulis ginian pasti udah bisa di cap macem-macem.
Golongan kiri lah, anak belok kananlah.
“Lu PKI yak?” “Lu mengidolakan Bung Karno ciyusan gasalah helow?” “Lu pengen ekonomi Indonesia stabil kek jaman Pak Harto? Sono gih, jadi penganut KKN,”. Pernyataan itu seolah bikin seseorang menjadi penjahat.

Main hakim dan labelin orang sembarang. Lupa sama pada hasil visum yang menyebutkan tidak ada penyiksaan yang dialami para Jenderal. Tutup mata jika ada kemungkinan peristiwa itu adalah kisruh rumah tangga tentara atau jebakan CIA, sampai percaya bahwa komunis kelihatan raut wajah dan gerak-geriknya. Bikin perpecahan lagi, bakar-bakaran lagi, padahal topik yang di bahas itu udah lewat.

Kenapa nggak diusut sampe tuntas sih?
Lurusin tuh dah sejarahnya yang bener. Toh pemeran utamanya udah pada ninggalin pentas.

Sebagai bocah ingusan yang lebih sering ngomong pait daripada bersikap optimis, gue jadi mikir ini-itu. Menurut gue sendiri, tidak dituntaskannya masalah ini karena semua ini masih menjadi bagian dari skenario besar aktor intelektual lainnya yang punya kepentingan dimasa setelahnya. Kita akan terus menyaksikan dalam setiap peralihan kekuasaan bahwa isu ini akan selalu digunakan. PKI sengaja dibiarkan eksistensinya, PKI dibiarkan hidup untuk menjadi pesakitan, PKI dibiarkan hidup dalam bayang-bayang untuk kepentingan lainnya. Dalam hal ini untuk saling melabeli, menuduh, menjatuhkan. Trauma masa lalu itu sengaja dibiarkan tak terobati untuk dijadikan mainan dalam pemilihan pemimpin di masa selanjutnya.

Gue yang muslim pun masih merasakan adanya Islamofobia di negara yang mayoritasnya muslim ini. Aneh gak?

Meski jaman udah milenial begini dan anak muda makin kritis dan jago bikin huru-hara di jejaring sosial, gue baca kalau sebuah forum diskusi yang diadakan beberapa waktu lalu di Jakarta dibubarkan karena ada bau-bau golongan kiri. Dipindahkan sampai dijaga ketat sama polisi. Diskusi doang elah diskusi -_- Itu demonstran yang berjejer bikin macet teriak-teriak ngomong kasar, bawa clurit sampe bikin korban aja kagak ada yang ngurusin, napa forum diskusi dijaga ketat dah kayak rapat pemberontak? Ternyata masih aja ada orang-orang langka warisan orde baru yang akan tetap batu dan nggak sadar kalau jaman bukan lagi milik mereka. Ngapain pemerintah bikin proyek perpustakaan terbesar kalau warganya d bikin parno sama yang namanya diskusi.

Lalu, setelah runtuhnya masa pencarian jatidiri itu, apakah kita masih menganggap pembahasan PKI dan Komunisme itu sesuatu yang haram dan tabu? Tidak bolehkah kita mempertanyakan sejarah yang belum terungkap?

Kalau gue ngomongin beginian 30 tahun lalu, besok gue udah ilang di buang ke laut kali yaa.

Sekali lagi, gue juga korban permainan sejarah. Semua yang gue tulis diatas itu hanya seiprit informasi yang pernah gue baca dan pelajari. Yang gue tulis disini tentu saja sifatnya subjektif, Gue nggak ada niat menyebarkan berita bodong atau mendoktrin siapapun. Ini semua hanya curahan hati bocah buta sejarah yang keblinger sendiri karena ngerasa negaranya kehilangan identitas.

Gue nulis ini juga bukan membenarkan adanya komunisme loh ya.
Gimanapun juga, gue menolak keras faham tersebut. Gak boleh ada kayak gituan di negara ini.

Kalau kata Ridwan Kamil, “Jangan terlalu ke kiri, jangan terlalu ke kanan. Tetap di tengah dengan menjunjung tinggi Pancasila."
Ya okelah..
Meskipun gue Indonesia dan Garuda di dadaku, gue nggak mau mihak Idoelogi.
Berpihaklah pada rakyat kecil.

You Might Also Like

0 komentar

Comment