Warisan by Teater Koma

August 30, 2017

Itulah warisan kita? Korupsi dan Utang?
Descriptionnya aja bikin nyeees..


Sebagai anak dan bapak yang udah lama ngidam nonton wayang bharata di Senen dan sampe sekarang belum juga kesampean akhirnya kemarin bapake ngajakin gue nonton teater koma. Asumsi masyarakat Indonesia kurang mengapresiasi pertujukan dan pagelaran semacam ini terbantahkan ketika gue mengalami kesulitan berburu tiket.

Gue udah reserved tiket dari lama sebelum tanggal pertunjukan di mulai, tapi saudara-saudara, gue bahkan udah nggak dapet tiket VIP -_- seat tersisa hanya di balkon dan demi apapun seat itu ada di tempat-tempat yang nggak oke -_-
Sedihnya adalah.. hari H bapake nggak bisa ikut karena ada kerjaan kantor mendadak dan akhirnya, gue kesana bareng Mila.

Yang gue tahu, namanya teater itu menggabungkan berbagai unsur seni seperti seni lakon, sastra, tari dan musik. Tapi ketika gue sampai di Gedung Kesenian Jakarta yang waktu itu gue mayan telat gara-gara ke Monas Night jadi pertunjukan udah setengah jam mulai, gue agak asing gitu. Gedung yang mayan gede itu udah penuh oleh penonton, tapi terasa begitu sunyi. Hanya terdengar dialog dari lakon di atas panggung, tanpa musik pengiring atau musik apapun.

Ternyata eh ternyata..
"Kali ini saya ingin bikin sunyi. Saya ingin orang datang untuk melihat sastra, bukan yang lain," gitu kata sutradara dan penulisnya. Menurut gue, kayak gitu justru lebih sulit. Itu artinya, para lakon punya beban lebih, untuk menghidupkan suasana tanpa bantuan musik. Itu artinya, para lakon harus benar-benar baik dalam mendalami karakter mereka dan harus baik pula dalam merepresentasikannya.

Jadi, Warisan ini bercerita tentang panti werdha yang semula digunakan untuk menampung lansia terlantar. Suatu hari, dibangun tembok besar dan tinggi di panti itu, dimana tembok itu berfungsi untuk memisahkan antara Si Kaya dan Si Miskin. Panti yang semula didirikan dengan nia mulia berubah menjadi ladang bisnis. Panti itu lebih ditujukan untuk orang-orang yang berani membayar mahal sedangkan panti Si Miskin menjadi semakin tak terurus.

Si Kaya
Si Miskin
Hal yang cukup menggelitik adalah ketika pengurus panti datang ke panti Si Kaya dan Si Miskin untuk bertanya; "Apa bapak-bapak dan ibu-ibu bahagia?". Kedua kelompok itu selalu menjawab; "Ya, kami bahagia,". Itu nyess loh sodara-sodara. Dua keadaan kontras itu bisa menghasilkan jawabannya yang sama. Si Kaya yang mengaku bahagia tapi tersiksa dalam hati karena tahu anak-anak mereka koruptor, atau Si Miskin yang berbahagia meski dalam hati mereka menangis karena jatah makan mereka semakin berkurang setiap harinya.

Terjadi diskusi politik di tempat Si Kaya tentang "Apakah warisan di negeri ini hanya korupsi dan hutang?". Ada Pak Kirdjomuldjono, dia itu penulis yang tinggal di panti kaya yang setiap harinya terganggu dengan tingkah Pak Munan yang selalu berkahayal tentang anak sulungnya dan selalu berteriak karena anak sulungnya korupsi. Juga ada Bu Miranti yang selalu setia menjadi teman curhat Pak Munan (ada loveline nya gitu ceritanya). Pada akhirnya Pak Kirdjomuldjo bunuh diri dengan menyetrum dirinya di kursi listik, krisis jati diri mungkin.

Sedangkan di tempat Si Miskin dalam hati mereka selalu bertanya, "Masih ada tempatkah bagi kami untuk tetap tinggal?". Setiap hari mereka membahas tembok besar yang memisahkan panti tersebut dan menjadi dua dan membayangkan apa yang orang-orang di balik tembok itu lakukan.

Jadi topik utama yang selalu dibicarakan oleh penghuni panti itu adalah tentang anak-anak mereka yang korupsi dan mereka membayangkan anak-anak mereka akan datang dan tidak korupsi lagi.

Tentu saja, kritik sosial dan politik ini cukup bikin gue jadi banyak mikir.




Selalu ada impact sendiri setelah menonton pertunjukan semacam ini. Memang ada beberapa bagian yang gue nggak paham karena mungkin sense of art gue udah terkontaminasi methanol jadi saraf-safar gue nggak bisa nyambung. Tapi gue suka, suka banget. Yang gue cari dari setiap menonton sesuatu itu impact apa yang gue dapat setelah menyaksikannya. Pertunjukan ini cukup bikin gue jadi mikir, "Sampai kapan kerja dunia, khusus negara kita terus seperti ini?" Sampai kapan yang korupsi dibiarkan semakin kaya dan tinggal dengan damai di negara ini?

Bukan sejarah membanggakan atau prestasi yang mereka tinggalkan, tapi korupsi dan hutang. Lalu siapa yang akan mendapatkan warisan itu?
Kita, para generasi muda apatis.
Nggak ada sejarah keren yang tertoreh setelah Indonesia merdeka, yang ada hanya rentetan para penjahat negara yang masih bisa melenggang dengan tebal muka di jalanan negeri ini.

Ketidakpedulian para generasi muda itulah yang membuat mereka Si Manusia Bermulut Manis yang gemar meracau soal kesejahreraan nasional itu justru bebas mensejahretakan diri mereka sendiri. Kebungkaman generasi mudalah yang membauat ras-ras tersebut hidup bebas di negeri ini.

Keseluruhan pertujukan ini oke banget. Tata panggung dan make-up nya terbaik gengs!!

Karakter kesukaan gue :


Sakiro dan Subrat. Mereka salalu membahas partai politik, korupsi dan hutang di Negeri Hindanasasa (itu ceritanya negeri sebrang tapi riwayatnya persis dengan negara kita. Juga Blekutak dan Jahir, dua penjaga keamanan Panti Jompo Terurus yang selalu bikin ngakak.

images source by Teater Koma

You Might Also Like

0 komentar

Comment