Sekedar Mengingatkan Mimpi
January 03, 2019
Tulisan ini didedikasikan untuk diri
sendiri yang masih jelimet nyusun TA
padahal target hidup selanjutnya udah teriak-teriak minta diraih.
Januari adalah bulannya bermimpi.
Sambil nikmatin musim hujan yang agaknya menuju puncak, mari kilas balik tentang angan-angan yang pernah kita cantutkan dalam benak masing-masing di tahun sebelumnya yang mungkin terlewat atau sengaja dilupakan.
One thing I regret the most is, I miss a lot of opportunity last year. Things already get wrong. My spirit had gone because my plans didn't go well since the beginning of the year. You know, if something goes wrong from the start, it will affect the progress after. That's all just my excuses. Bye.
Kembali ke topik.
Setiap
orang punya garis finish-nya masing-masing, itu prinsip hidup gue. Prinsip yang gue pegang demi menghindari dengki dan iri hati. Keliatan kan kalau gue ini semacam orang yang low motivated dan nggak kompetitif. Kudu gue akui memang kenyataannya gitu. Bagi gue, hidup bukan untuk berlomba dengan siapapun. Gue nggak pernah merasa ingin bersaing dan menang melawan siapapun. Gue juga jarang merasa insecure dengan keberhasilan orang lain. Tapi terlepas dari sifat gtu, bukan berarti gue nggak punya mimpi. Gue ini emang nggak life-oriented, tapi gue itu sangat self-oriented.
Gue percaya, value dari mimpi setiap individu itu berbeda. Ada yang merasa cukup
dengan menjadi baik, ada yang merasa tidak cukup hanya dengan menjadi baik. Ada
yang bahagia dengan menjadi matahari yang
sinarnya menyilaukan namun menghangatkan, ada yang merasa cukup menjadi bulan dengan sinarnya
yang temaram namun menenangkan. Tapi, jika bicara soal mimpi, maka seharusnya segala mistar tak nampak. Tidak ada hakim dan jaksa yang berkerja di ranah itu. Sekali lagi, mimpi dari masing-masing orang memiliki
nilai yang berbeda.
“Gue
bukan pemimpi,”
seorang influencer perna ngomong gitu yang nggak
serta-merta gue percaya. Bohong kalau dia bilang dia nggak pernah mimpi untuk jadi orang yang menginfluence. She is just being rational. Seolah dia
lupa, menjadi influencer pasti pernah menjadi hal yang hanya bisa dia mimpikan
sebelumnya.
Menurut gue, menjadi
pemimpi adalah berkat yang tidak bisa dimiliki semua orang. Mereka yang tidak
diberkati untuk menjadi pemimpi mungkin beranggapan jika mimpi tak lain adalah sebuah kata tak bermakna yang terlampau sering tertulis dalam dongeng atau fairy tale yang mustahil terjadi dalam dunia nyata. Mereka tidak akan pernah bisa mengerti karena mereka tidak bisa bermimpi–
atau pernah namun sudah ia bakar jauh sebelumnya. Mereka yang memutuskan menyerah akan mimpi-mimpi meraka mungkin sudah lebih dulu dikecewakan, atau mereka lebih dulu disadarkan jika ada sebuah tembok bernama 'realita' yang membuat mimpi seolah tak mungkin di gapai.
Sampai saat ini gue memutukan mengabaikan tembok penghalang itu. Gue memutuskan untuk memalingkan wajah dari pembatas besar yang sebenernya ada di depan wajah gue. Sayangnya, tembok itu terlalu tinggi menjulang, susah juga kalau selamanya pura-pura nggak liat.
Pada akhirnya, gue dipaksa untuk mikir balik.
“Apa ekspektasi gue terhadap diri gue
sendiri terlalu berlebihan?”
Tawar menawar antara logika dan
perasaan makin sering terdengar akhir-akhir ini (mungkin ogut setres dengan skirpsi ogut -_-) Walau gue tahu monolog kayak gitu nggak baik dan bisa tanpa sadar bikin langkah kita tersendat, tapi herannya pasti balik lagi mikir gitu setiap saat.
Dan disinilah, ketika terjadi perang, heroin seharusnya datang.
Di tengah krisis mimpi itu.. Ia datang.
Tidak dengan dada yang terlampau membusung,
Tidak dengan sapa yang membuat tersinggung.
Sinar diwajahnya gemerlap,
Namun tak membuat pengap.
Seperti
katanya,
Baginya mimpi bukanlah dongeng semata.
Baginya mimpi adalah kesuksesan yang belum bermetamorfosa.
Baginya mimpi bukanlah hal abstrak yang sulit diraba.
Do'anya bagai seribu sayap yang membumbungku terbang.
Kerlipnya menghempaskan cahaya ke langit berbintang.
Ia biarkan sekali lagi aku menghidu aromanya.
Ia biarkan sekali lagi aku menari dengan cita.
Katanya,
Diantara seribu satu bintang yang bersinar,
Satu pasti milikku.
Lalu
nanti,
entah
kapan,
aku percaya,
jika pada akhirnya,
kau dan aku akan memeluk mimpi-mimpi itu,
bersama..
1 komentar
Baru nemu blog ini, pas nyari-nyari logo. Dan gak berasa, tancap gas sampai habis, baca (hampir) semua postingan.
ReplyDeleteSebuah blog yang tidak sekedar sederhana. Bertutur jujur dengan gaya bercerita apa adanya. Tapi justru menjadikan tulisan - tulisannya enak dibaca. Bahkan saya berasa kenal dekat dengan penulisnya. Termasuk mengenali gaya penulisannya yang terasa semakin 'berisi'.
Salut. Tetap teruskan menulis ... Dan jadilah salah satu pembawa inspirasi untuk dunia ....
Salam dari Cibinong.
Comment